Rabu, 16 Juni 2010

Memaafkan Sesama, dan Peradaban Manusia

"Meski sebutir pasir kesalahanku, kumohon maafmu seluas samudera". Demikian lirik dalam sebuah kartu Natal yang pernah saya lihat. Saya yakin itu bukan hanya basa-basi. Siapapun ingin tampil perfect, sempurna dan tiada cela. Kenyataannya, tiada gading yang tidak retak, adakah manusia yang luput dari kesalahan?? Kesempurnaan manusia terletak pada ketidaksempurnaannya. Itulah kenyataan.

Kesadaran akan ketidaksempurnaan diri sangat penting bagi kehidupan manusia. Pertama, agar manusia tidak kehilangan kemanusiaannya. Kesadaran ini  mendorong manusia agar tidak pernah berhenti kerkarya, selain menciptakan karya baru dan menyempurnakan karya yang sudah ada. Sadar akan ketidaksempurnaan akan membebaskan manusia dari tabiat suka mengagumi diri sendiri, arogan dan egois.

Sayangnya, manusia modern, kata Christopher Lasch dalam The Culture of Naracissism, malah senang menjadi sosok yang suka mengagumi diri sendiri. Perasaan serba cukup dan suka mengagumi diri merupakan pangkal lahirnya sikap berperilaku negatif seperti status quo, otoriter, dan chauvinistic.

Berbagai konflik, kekejaman, dan kejahatan terjadi karena manusia, dan sebagian pemimpin dunia menderita penyakit bangga dengan diri sendiri. Kedua, agar manusia bersifat pemaaf kepada sesama. Memberi maaf sebelum orang yang bersalah menyadari kesalahan dan meminta maaf.

Inilah karakter manusia yang berjiwa besar. Memaafkan adalah kekuatan.

Setelah sukses menumbangkan rezim Apatheid dan memegang tampuk kekuasaan, Nelson Mandela sama sekali tidak menyimpan dendam. Sebagai penguasa yang didukung penuh  oleh kekuaatan rakyat, Nelson Mandela tidak berbuat apa saja kepada musuhnya. Namun, dia justru memaafkan mereka yang telah menyakiti dirinya dan berbuat aniaya kepada rakyatnya. Dengan slogan Healing the past, Facing the Future, Mandela berhasil membangun rekonsiliasi nasional, mengajak seluruh komponen bangsa melupakan masa lalu dan membangun masa depan Afrika Selatan. Mandela berhasil.

"Menang tanpa ngasorake". Meraih kemenangan gemilang tanpa pertumpahan darah. Cerita Mandela adalah contoh  betapa besarnya KEKUATAN MEMAAFKAN. Alangkah indahnya melihat burung yang tahu sangkarnya, yang bersalah mengakui kesalahannya. Sing salah seleh. Itulah jiwa ksatria. Jika hal itu dilakukan, segalanya akan menjadi mudah. Tidak perlu malu dan risih, Berbuat salah itu sebagian dari sifat manusia. Peradaban tidak bisa dibangun di atas fondasi dendam. Marilah saling memaafkan!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Ndene